top of page

FITRAPEDIA

Ahmad Arli Hikmawan

Tidak akan memberikan ujian yang melampaui batas manusia

Permisi mas arli.. mau bertanya, kan di qur'an berkata "allah tak akan memberikan ujian melampaui batas kemampuan hamba nya". Bagaimana jika seumpama nya manusia diberikan ujian seperti di culik oleh org tidak dikenal yg mengidap penyakit psikopat, lalu disiksa dan dijadikan budaknya selama hidup.. apakah hal semacam itu bisa saja terjadi sebagai balasan/karma/pencucian fitrah atas kehidupan individu ini yg sebelumnya? Walaupun dia sudah mengamalkan dzikir & doa beserta melaksanakan nasihat nasihat ilmu kebenaran? Makasih sebelumnya mas arli & ibu ririn atika 🙏🙏

 

Salam. Semoga jawaban ini bisa diterima oleh hati yang fitrah. Pertama-tama, yang perlu diluruskan adalah bahwa melaksanakan ilmu kebenaran itu sama sekali nggak menjamin seorang manusia bisa bebas dari nasib tertentu dalam kehidupan ini, termasuk yang Anda sebutkan. Ilmu kebenaran adalah ilmu bagaimana membaca ayat-ayat Allah yang tersirat sehingga bisa menjalani kehidupan ini dengan tidak sia-sia, untuk memaksimalkan pertumbuhan fitrah kita dalam kehidupan, sehingga selalu ada nilai di hadapan Allah dalam setiap perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan. Tidak ada hubungan kausalitas secara jasmani antara ilmu kebenaran dengan kehidupan, melainkan secara rohani. Atau gamblangnya, jika memang kita (dengan berbagai alasan atau sebab/akibat) sudah dikodratkan menghadapi nasib yang malang seperti itu, ilmu kebenaran membantu agar minimal kesengsaraan tersebut bisa membuat manusia yang mengalaminya (atau bahkan sekedar mengetahuinya) bisa mengambil ilmu dari situ, bukan cuma secara jasmani melainkan juga secara rohani, sebagai bekal ujian kehidupannya di masa depan, baik dalam kehidupan kali ini atau selanjutnya. Kedua, kita harus menerapkan Alif Laam Miim di sini. Jika kita melihat dalam perspektif YMK, maka seorang manusia yang malang seperti itu ibarat memiliki nilai kodrat yang sangat negatif. Apa artinya? Artinya ia membutuhkan ekspektasi irodat yang sangat kecil sebelum bisa mendapatkan nilai di hadapan-Nya. Jangan-jangan dengan bertahan hidup saja dan tidak menyimpan dendam ia sudah dianggap memiliki ibadah yang sangat tinggi. Kebayang? Atau bahkan mendendam juga dinilai cukup tinggi, jika seiring dengan waktu ia bisa menyembuhkan hatinya, bisa memaafkan dirinya sendiri dan/atau pelaku kejahatan tersebut. Tetapi sekali lagi, hal ini merupakan hak prerogatif Allah bagaimana menilainya, sebab hanya Dia yang Maha Tahu. Mengapa seorang manusia perlu mengalami hal semacam ini? Apakah sebagai karma atau semacamnya itu? Bisa saja. Kejadian ini bisa jadi merupakan hasil tindakannya di masa lalu, bisa juga apes karena memiliki nenek moyang yang pernah berbuat zalim kepada nenek moyang pelakunya, sehingga roh korban di masa lalu sekarang mempengaruhi manusia penjahat untuk berbuat zalim kepada manusia korban yang ditempeli oleh roh penjahat di masa lalu; atau berbagai macam alasan lainnya. Tetapi apapun itu kenyataannya, hal ini merupakan urusan pribadi masing-masing manusia tersebut dengan YMK. Apapun alasannya, kita sebagai penonton tidak berhak ataupun mampu untuk menghakiminya kalau urusan hubungan dengan Allah. Meskipun ini memang merupakan karma perbuatannya di masa lalu (secara hubungan dengan Allah/rel kanan), tetap saja kejadian tersebut memiliki arti yang berbeda bagi kita semua sebagai penonton. Jika kita menjawabnya sekedar, "rasain lu!". Maka dipastikan kita udah kena nafsu rasa suci. Kita telah menggunakan hak prerogatif Allah, yang tadi barusan kita bahas di atas. Terus apa yang harus kita lakukan? Ya hal ini merupakan ujian bagi kita juga dari YMK, yang harus kita jawab pake fitrah, bukan pake nafsu. Ini adalah pengaplikasian dari rel sebelah kanan. Kemudian dilihat dari perspektif sesama manusia, banyak sekali pilihan perbuatan yang bisa kita lakukan, tergantung kita mau pake fitrah atau nafsu dalam bereaksi. Sebagian ingin menghukum pelaku seberat-beratnya, sebagian ingin mengerti mengapa ia melakukan hal itu, sebagian ingin mencegah kejadian yang sama terulang kembali, dan sebagian tidak peduli sama sekali karena memang manusia itu kejam dan bodoh. Pilihan tindakan yang diambil individu di sini akan dinilai dan diuji kemurnian niatnya oleh Allah. Nah, kalimat "Allah tidak akan memberikan ujian melampaui batas kemampuan hamba-Nya" itu memiliki beberapa poin yang penting. 1. Lulus dalam ujian kehidupan itu tidak sama dengan "menang secara jasmani", melainkan menang secara rohani. Jadi, seperti yang kita bahas sebelumnya, kasus semacam ini jika dalam rumus irodat-kodrat merupakan kondisi ketika kodratnya sangat kecil, atau bahkan negatif sehingga cukup dengan bertahan hidup dan memiliki hati yang tetap bersih, manusianya sudah dianggap beribadah dengan nilai yang tinggi. Dengan kata lain, seorang manusia bisa saja tewas dalam situasi tersebut, kalah secara jasmani, tetapi karena sampai akhir hidupnya dia tidak pernah menyerah, tidak pernah mau mengotori dirinya dengan perbuatan zalim, atau berbagai macam perwujudan sifat fitrah lainnya, justru ia menang di hadapan Allah. Atau bisa juga ia selamat, tetapi sepanjang sisa kehidupannya ia harus bergelut dengan trauma yang dihasilkan kejadian malang tersebut. Jika sepanjang kehidupannya tersebut ia tetap bisa mewujudkan kasih dan sayang dalam sisa kehidupannya, justru ia menang di hadapan Allah berarti. Dengan kata lain, "melebihi batas kemampuan hamba-Nya" berarti perhitungan lulus/tidaknya seorang manusia memang tergantung pada situasinya, tergantung rentang kodrat-irodatnya, nggak bisa dipukul rata. 2. "/edit tidak akan /endedit memberikan ujian melampaui batas" berarti manusia yang level TK akan terus-menerus menghadapi soal kehidupan kurikulum TK, manusia SD ujian kurikulum SD, dan begitu seterusnya. Apa signifikansinya? Artinya dalam kehidupan ini kita akan sering melihat orang lain untuk pertama kalinya lulus ujian kehidupan yang dulu sudah pernah kita hadapi, entah kita lulus atau nggak. Sebaliknya, itu juga berarti ada banyak orang yang lulus ujian kehidupan di atas tingkatan kita, tetapi kita nggak nyadar sama sekali akan kenyataan tersebut, karena tingkat keimanan kita masih jauh lebih rendah. Apa hubungannya dengan kasus yang Anda sebutkan tadi? Ya, bisa jadi kejadian malang tersebut terjadi karena memang sang korban, sebagai seorang manusia di hadapan YMK, sudah berada di level keimanan yang relatif tinggi dibandingkan diri kita. Bisa jadi, Allah, Yang Maha Mengetahui, sudah tahu sejak awal bahwa manusia tersebut akan mampu lulus ujian kesengsaraan super seperti itu, meskipun kita semua sebagai penonton cuma bisa melihat sang korban sebagai manusia yang malang. Sekali lagi, lulus di sini menang secara rohani ya, bukan jasmani. Untuk sementara itu yang bisa saya pikirkan sekarang. Semoga cukup jelas. -arli

bottom of page