Bu mau tanya, pengertian takwa dalam perspektif ilmu kebenaran? 🙏, Mungkin ini ada hubungan nya dengan niat karena Allah, jika niat karena Allah dalam pengaplikasianya di kehidupan sehari2 dengan takwa (secara umum menjauhi larangan nya dan menaati perintahnya) bagaimana cara ilmu kebenaran memahami apa yg di perintahkan tuhan? Apa dari aturan agama masing2, jika ilmu kebenaran tidak menjurus pada satu agama atau universal, bagaimana kita mengaplikasikan takwa itu dikehidupan sehari2 dalam ilmu kebenaran?
Salam. Kang Asep, seingat saya sudah cukup lama di sini. Anda pasti udah menonton semua videonya kan? Bagaimana menurut Anda setelah menonton tersebut berkenaan dengan pertanyaan tersebut? Tidakkah muncul pemahaman atau inspirasi tersendiri berdasarkan pemikiran Anda selama ini setelah mempertimbangkan isi-isi video di sini? Kemandirian semacam ini sebenarnya lebih diutamakan daripada mengharapkan jawaban dari orang lain, termasuk saya ataupun Bu Ririn. Tetapi sebagai referensi saja, marilah kita bahas pertanyaan Anda tersebut. Semoga jawaban ini bisa diterima siapapun dengan hati yang dikendalikan fitrah, bukan nafsu. "Takwa", jika menggunakan definisi "mematuhi segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya" ilmu kebaikan, bisa berarti banyak hal sebenarnya, tergantung apakah manusia dikendalikan fitrah atau nafsunya, apakah manusia menggunakan prinsip kasih & sayang atau menggunakan hak prerogatif YMK, bergantung juga dengan rentang kodrat & irodat manusianya. Segala macam hal yang bisa dikategorikan sebagai perintah Allah, bisa dibiaskan nafsu sehingga justru menggunakan hak-hak prerogatif Allah. Sehingga secara teknis seorang manusia bisa saja "sekedar mematuhi perintah-Nya" tetapi sekaligus juga "melanggar larangan-Nya", dalam SATU tindakan yang sama. Secara jasmani, secara real, secara nyata melaksanakan perintah-Nya, tetapi di saat bersamaan secara rohani, menggunakan hak-hak yang seharusnya hanya boleh digunakan YMK. Ribet ya? Begitulah kalau berurusan dengan nafsu. Oleh karena itulah sejak awal sudah ditekankan bahwa musuh manusia yang paling utama adalah nafsu yang ada di dalam dirinya sendiri. Apa artinya? Artinya, jika kita bicara apakah bentuk konkrit dari Takwa dalam kehidupan sehari-hari, percuma juga jika sekedar membahasnya secara jasmani. Sebab baik ataupun buruk wujudnya, nggak kelihatan juga dari luar apakah akan diterima atau tidak di hadapan YMK. Tindakan tersebut masih harus dan pasti akan diuji oleh Allah kemurnian niatnya. Pasti. Kebayang sampai sini? Bagaimana jika kita bagi-bagi menjadi skenario atau perspektif tertentu? Masak nggak bisa membuat semacam aturan yang pasti atau saklek, biar manusianya nggak bingung? Bisa aja. Tetapi maksimal hanya akan memenuhi rel sebelah kiri, rel hubungan sesama manusia aja. Kemurnian niat karena Allah, sadar, tabah, dan sabar berkenaan dengan tindakan tersebut, bukanlah hal yang bisa ataupun berhak kita nilai. Contoh: Manusia diperintahkan untuk taat kepada orang tua atau istri harus patuh kepada suami. Kalau orang tuanya atau suaminya nggak bener gimana? Apakah kita harus tetap nurut? Secara hubungan sesama manusia, kita bebas aja menilai dengan perspektif kita masing-masing, apakah penolakan atau kepatuhan terhadap orang tua atau suami tersebut merupakan sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi tetap aja, di hadapan Allah penilaian tersebut nggak berarti. Allah Maha Mengetahui semua perspektif yang terjadi dalam situasi tersebut, tidak seperti kita yang berada di sekitarnya. Tambah pusing ya? Wajar. Makanya manusia itu perlu menyatu dengan Malaikat Muqorrobin. Manusia akan LANGSUNG TAHU, (DIJAMIN!), apa yang paling bermanfaat yang bisa dia lakukan dalam situasi apapun itu. Hal ini bukan berarti tindakannya langsung sempurna, nggak salah, atau bebas dari kritik. MELAINKAN ujian apapun yang muncul kemudian, tidak peduli apapun keputusan yang manusia ambil, ia akan mampu melaluinya dengan nilai keikhlasan yang CUKUP TINGGI. Mereka akan mampu melepaskan nafsu rasa aku, nafsu rasa suci, dan nafsu rasa minta puji dalam prosesnya. Misalnya, dalam kasus tadi, jika ia memilih untuk patuh kepada suami atau orang tua. Perbuatan "patuh" tersebut akan diuji oleh YMK, apakah berdasarkan fitrah atau nafsu dasar pemilihannya? Kalau berdasarkan nafsu, apakah ia akan mampu meningkatkan porsi fitrahnya? Katakanlah ternyata, di masa depan, kepatuhan tersebut justru menimbulkan masalah baru. Bagaimana Anda akan bereaksi? Kalau Anda patuh karena nafsu rasa minta puji atau rasa suci, maka Anda akan sangat sulit menerima konsekuensi kepatuhan Anda tersebut. Anda akan menyimpan rasa sakit di hati. Nah, dalam kondisi ini baru terlihat jelas bahwa kepatuhan yang Anda pilih di masa lalu tersebut bukanlah tindakan yang fitrah, melainkan lebih besar porsi nafsunya. Begitu juga sebaliknya jika Anda memilih untuk tidak patuh. Jika ternyata ketidakpatuhan tersebut menimbulkan permasalahan baru. Kebayang ribetnya? Nah, sekarang ganti "suami" atau "ortu" di atas dengan YMK. Gimana menurut Anda? Oleh karena itulah, kesimpulannya adalah, jika kita memang bicara ilmu kebenaran bukan kebaikan, jangan terpaku pada wujud tindakan tersebut secara jasmani, apakah patuh atau tidak patuh, apakah baik atau buruk, sebab itu semua masih harus diuji kemurnian niatnya, masih harus menghadapi konsekuensinya dengan hati yang bersih dan teguh. Oleh karena itulah, saran saya, Anda sebaiknya lebih fokus kepada prinsip bahwa Allah itu Maha Adil. Segala hal yang Anda lakukan ke orang lain, Anda pasti akan terima sendiri, PASTI, di masa depan, entah dalam kehidupan kali ini atau berikutnya. Nah, dengan pertimbangan tersebut lakukanlah apa yang menurut Anda paling bermanfaat dalam setiap situasi, lepaskan semua hak prerogatif Allah dalam proses menghadapi konsekuensinya. Hidup ini adalah sekolah. Kita boleh gagal, boleh salah, boleh jatuh, tetapi yang utama adalah kita harus selalu belajar dalam prosesnya. Jika Anda terus melakukan hal ini setiap hari, di masa depan, di akhir kehidupan sebelum Anda pindah tempat ke alam fana, Anda akan bisa melihat ke belakang, bahwa Anda telah melakukan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dalam artian yang sebenarnya, yang rohani, bukan sekedar jasmani, yaitu untuk melaksanakan sekolah kehidupan sefitrah yang Anda bisa.